NAMA : MUHAMMAD SUKRI ADIYANTO
NPM : 57414553
KELAS : 1IA14
Suku Banjar (bahasa Banjar: Urang Banjar )
adalah suku bangsa yang
menempati wilayah Kalimantan Selatan,
serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Populasi Suku Banjar
dengan jumlah signifikan juga dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Utara dan Semenanjung Malaysia karena migrasi
orang Banjar pada abad ke-19 ke Kepulauan Melayu.
Berdasarkan sensus penduduk 2010 orang Banjar
berjumlah 4,1 juta jiwa. Sekitar 2,7 juta orang Banjar tinggal di Kalimantan
Selatan dengan hampir separuh orang Banjar lainnya berada di perantauan.
Sketsa seorang pembesarKerajaan Banjar sekitar
tahun 1850 (koleksi Museum Lambung Mangkurat).
Etimologis
Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang merupakan
pembauran masyarakat DAS DAS Bahan, DAS Barito, DAS Martapura dan DAS Tabanio.[3] Sungai Barito bagian hilir
merupakan pusatnya suku Banjar. Kemunculan suku Banjar bukan hanya sebagai
konsep etnis tetapi juga konsep politis, sosiologis, dan agamis.
Menurut Hikayat Banjar, dahulu kala penduduk
pribumi Kalimantan Selatan belum terikat dengan satu kekuatan politik dan
masing-masing puak masih menyebut dirinya berdasarkan asal Daerah Aliran Sungai
misalnya orang batang Alai, orang batang Amandit, orang batang Tabalong, orang batang Balangan, orang batang Labuan Amas, dan sebagainya. Sebuah
entitas politik yang bernama Negara Dipa terbentuk yang mempersatukan puak-puak
yang mendiami semua daerah aliran sungai tersebut. Negara Dipa kemudian
digantikan oleh Negara Daha. Semua penduduk Kalsel saat itu merupakan warga
Kerajaan Negara Daha, sampai ketika seorang Pangeran dari Negara Daha
mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai Barito yaitu Kesultanan Banjar. Dari
sanalah namaBanjar berasal, yaitu dari nama Kampung Banjar yang terletak di
muara Sungai
Kuin,
di tepi kanan sungai Barito. Kampung ini dipimpin oleh seorang Patih (Kepala
Kampung) yang bernama Patih Masih. Gabungan nama kampung Banjar dan
nama Patihnya tersebut sehingga kampung ini lebih dikenal dengan nama
panjangnya Kampung Banjar Masih. Kelak kampung ini berkembang
menjadi Kerajaan Banjar Masih dengan raja pertama Sultan Suriansyah, yang merupakan
keponakan dari penguasa Kerajaan Hindu Negara Daha yang terletak di pedalaman.
Kerajaan Banjar Masih merupakan kerajaan
baru yang muncul untuk memisahkan diri dari Negara Daha. Kerajaan Banjar Masih
dengan rakyatnya yang dikenal sebagai orang Banjar Masih, merupakan
entitas politik yang dibenturkan dengan orang Negara Daha (atau
disebut juga orang Banjar Lama/proto Banjar) yang merupakan warga
negara Kerajaan Negara Daha yang menjadi rivalnya. Kerajaan Negara Daha (atau
disebut juga wilayah Batang Banyu) akhirnya berhasil ditaklukan dan
wilayahnya dimasukan ke dalam Kerajaan Banjar Masih. Kekuatan Kerajaan Banjar
Masih didukung penuh oleh Kesultanan Demak yang memberi persyaratan bahwa raja
dan rakyat Banjar Masih (beserta bekas Negara Daha) harus menerima agama baru
yaitu agama Islam, yang kini menjadi identitas orang Banjar sebagai
etnoreligius/kultur grup Muslim yang membedakannya dari masyarakat sekitarnya
pada masa itu.
Jadi pada pra-Islam, penduduk kampung
Banjar Masih dan kampung sekitarnya yang ada di hilir sungai Barito tergolong
sebagai warganegara Kerajaan Negara Daha atau Orang Negara Daha.
Namun belakangan nama Banjar lebih populer sehingga dipakai untuk menamakan
penduduk pada kedua wilayah tersebut, walaupun pada kenyataan kebudayaan di
wilayah Batang Banyu merupakan kebudayaan Banjar yang lebih klasik. Penduduk
Banjar dan Negara Daha sebenarnya menggunakan bahasa yang sama namun berbeda
dialek. Peperangan antara Banjar melawan Negara Daha yang dimenangkan oleh
Banjar ini hampir mirip dengan peperangan antara Demak melawan Majapahit yang
dimenangkan oleh Demak, namun pebedaannya adalah Banjar kemudian dipakai
sebagai nama etnik dan sedangkan Demak bukan merupakan nama etnik. Di daerah
asalnya, sekarang ini suku Banjar terbagi menjadi tiga kelompok menurut lokasi
pemukimannya, berturut-turut kelompok pertama yaitu kelompok orang
Banjar Masih yang kini lebih dikenal sebagai orang Banjar Kuala karena
secara geografis mendiami bagian kuala/hilir, sedangkan kelompok kedua yaitu
bekas penduduk kerajaan Hindu Negara Daha (Banjar klasik) dikenal sebagai
Banjar Batang Banyu, sedangkan kelompok ketiga dikenal sebagai Banjar Pahuluan
yang hidup secara harmonis dengan tempat tinggal yang bersisian langsung dengan
beberapa sub suku Dayak yang masih menganut agama Kaharingan. Di wilayah
Pahuluan bagian utara masih dapat ditemukan kantong-kantong permukiman sub-sub
Dayak Maanyan seperti Dayak Warukin dan Dayak Balangan. Sedangkan di wilayah
Pahuluan bagian tengah dan selatan, ditemukan sub-sub Dayak Meratus (Banjar
arkhais) seperti Dayak Pitap, Dayak Labuhan dan lain-lain.
Sejarah
Mitologi suku Dayak Meratus (Suku Bukit)
menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit
merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh/Datung
Ayuh/Dayuhan/Sandayuhan yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Siwara/Bambang
Basiwara yang menurunkan suku Banjar.[4] Dalam khasanah
cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus ditemukan legenda yang sifatnya
mengakui atau bahkan melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat secara
geneologis) antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus. Dalam cerita prosa
rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang orang
Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang Dayak
Meratus yang bernama Sandayuhan. Bambang Basiwara digambarkan sebagai adik yang
berfisik lemah tapi berotak cerdas. Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak
yang berfisik kuat dan jago berkelahi.
Sesuai dengan statusnya sebagai
nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat
populer di kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di
seantero pegunungan Meratus yang sejarah
keberadaannya diceritakan berasal-usul dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu
di antaranya adalah tebing batu berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan
dari Samali’ing, setan berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu
kontak fisik yang sangat menentukan.[5]
Suku bangsa Banjar terbentuk dari suku-suku
Bukit, Maanyan, Lawangan dan Ngaju yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu yang
berkembang sejak zaman Sriwijaya dan kebudayaan Jawa pada zaman Majapahit, dipersatukan oleh kerajaan yang beragama
Buddha, Hindu dan terakhir Islam, dari kerajaan Banjar, sehingga menumbuhkan
suku bangsa Banjar yang berbahasa Banjar.[6] Suku bangsa Banjar terbagi
menjadi tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar)
Batang Banyu, dan Banjar (Kuala). Banjar Pahuluan pada asasnya adalalah
penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu
ke pegunungan Meratus. Banjar Batang Banyu
mendiami lembah sungai
Negara,
sedangkan orang Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka
kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang terbagi ke dalam
dua dialek besar yaitu Banjar Hulu dan Banjar Kuala.
Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu (sebelum kesultanan
Banjar dihapuskan pada tahun1860) adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau
disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula
berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di Martapura), nama tersebut
nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.[7]
Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke
pantai timur Sumatera dan Malaysia. Di Malaysia, suku
Banjar digolongkan sebagai bagian dari Bangsa Melayu.
Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi
wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah seperti saat ini,
kemudian pada abad ke-16 terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin
Pangeran Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada abad ke-17 di
sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbuyang dipimpin Pangeran
Dipati Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi beberapa daerah: Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng,Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal.
Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Timur merupakan tanah rantau primer orang Banjar, selanjutnya dengan
budaya maadam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau misalnya
ke Kepulauan Sulu bahkan menjadi
salah satu dari lima etnis yang pembentuk Bangsa Suluk atau Tausug (yakni percampuran
orang Buranun, orang Tagimaha, orang Baklaya, orang Dampuan/Champa dan orang
Banjar).[butuh rujukan] Hubungan antara
Banjar dengan Kepulauan
Sulu atau
Banjar Kulan terjalin ketika para pedagang Banjar mengantar seorang Puteri dari
Raja Banjar untuk menikah dengan penguasa suku Buranun (suku tertua di
Kepulauan Sulu). Salah satu rombongan bangsa Suluk yang menghindari kolonial
Spanyol dan mengungsi ke Kesultanan Banjar adalah moyang dari Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari. Suku Banjar juga memiliki hubungan historis suku Sasak di
Kerajaan Selaparang, pulau Lombok. Selain itu Suku Banjar juga terkait dengan
suku Sumbawa di pulau Sumbawa, yang merupakan gabungan dari lima suku yang
menjadi akar masyarakat Sumbawa masa kini, salah satunya suku Banjar.[8]
Banjar
Pahuluan
Orang [Banjar] Pahuluan
puak Amandit (Kandangan)
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada
sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun
di Banjarmasin, tetapi pengislaman
secara massal diduga terjadi setelah raja Pangeran Samudera yang kemudian
dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti
warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini
diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk pedalaman,
yaitu Orang Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami
lembah-lembah sungai yang sama.
Untuk kepentingan keamanan, atau karena memang ada
ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman
tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama
ini merupakan komplek pemukimanbubuhan, yang pada
mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga
kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang
bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada
masyarakat balai di kalangan masyarakat orang Bukit, yang pada
asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu
di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama
masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak
zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan
di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu
saja dengan kemungkinan adanya unsur orang Bukit ikut membentuknya.[7]
Banjar
Batang Banyu
Masyarakat (Banjar) Batang
Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi
seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya
yaitu sungai
Tabalong.
Sebagai warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan
kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai
Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari Orang Maanyan (dan Orang Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta
membentuk subsuku Banjar Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asalPahuluan yang
pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan
umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang
bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.[7]
Perkampungan orang [Banjar] Batang Banyu puak Nagara Daha
Banjar
Kuala
Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang
Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan bersama-sama dengan
penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar.
Di kawasan ini mereka berjumpa dengan orang Ngaju, yang seperti halnya
dengan masyarakat Bukit dan masyarakat Maanyan serta Lawangan, banyak di antara
mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk
agama Islam. Mereka yang bertempat
tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau
menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat
Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal
dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa
kecuali mengaku sebagai orang Banjar.[7]
Demikian kita dapatkan keraton keempat
adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan
berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526
didirikan. Dalam amalgamasi(campuran) baru ini telah
bercampur unsur budaya Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit
dan suku kecil lainnya diikat oleh agamaIslam,
berbahasa Banjar dan adat istiadat
Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton. Di sini kita dapatkan bukan
suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah grup atau
kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan
Banjar Pahuluan.
Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala
sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di
sepanjang sungai
Tabalong dari
muaranya di sungai
Barito sampai
dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di
kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari
kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari
kesatuan-etnik Maanyan, kelompok Banjar
Pahuluan berasal dari kesatuan etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka
menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu
golongan Kaharingan, dengan ejekan
orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.[9]
Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan
Banjar, ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti Patih
Belandean, Patih Belitung, Patih Kuwi dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang
Bukit dan Maanyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu agama Islam, kemudian
mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan
meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi
kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia.[10]
Sosio-historis
Secara sosio-historis masyarakat Banjar
adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa
dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama, sehingga
kemudian membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok sosial
heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya alami
(priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang cukup
kompleks.[11]
Islam telah menjadi ciri
masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi
identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok yang ada di sekitarnya
yang kini disebut sebagai Dayak, yang umumnya masih
menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri,
setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai
"babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar.[7]
Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir
begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi historis secara sosial suatu kelompok
manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di
kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar merupakan bentuk pertemuan berbagai kelompok
etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari sebuah proses sosial
masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik berangkat pada proses Islamisasi
yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat
berdirinyaKesultanan Banjar. Banjar sebelum
berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah
ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang
merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal[12].
Suku Banjar yang semula terbentuk
sebagai entitas politik terbagi 3 grup (kelompok besar)
berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfektif
kultural dan genetis :
1.
Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang
Melayu-Hindu dan orang Bukit yang berbahasa Melayik (unsur Bukit sebagai ciri kelompok)
2.
Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran
orang Pahuluan, orang Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Maanyan,
orang Lawangan, orang Bukit dan orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur Maanyan
seperti Debagai ciri kelompok). Di Kalsel masih dapat ditemukan komunitas
sub-Dayak Maanyan yang masih menganut adat Kaharingan yang bertetangga dengan
perkampungan suku Banjar seperti Dayak Warukin, Dayak Balangan, dan Dayak
Samihim.
3.
Grup Banjar Kuala[13] adalah campuran orang Kuin,
orang Batang Banyu, orang Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai)[14], orang Kampung Melayu[15], orang Kampung Bugis-Makassar[16], orang Kampung Jawa[17], orang Kampung Arab[16], dan sebagian orang Cina Parit yang masuk Islam
(unsur Ngaju sebagai ciri kelompok). Proses amalgamasi masih berjalan hingga
sekarang di dalam grup Banjar Kuala yang tinggal di kawasan Banjar Kuala -
kawasan yang dalam perkembangannya menuju sebuah kota metropolitan yang menyatu
(Banjar Bakula).
Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku
Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan orang Ngaju/serumpunnya (Kelompok
Barito Barat) yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan
sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran
suku Banjar dengan orang Maanyan/serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti
Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai
kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak
terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.
Suku Banjar Perantauan
Kalimantan
Timur dan Utara
Sebelum masa Kesultanan Banjar berhubungan
dengan VOC Belanda sekitar 1606, pada saat itu Kesultanan Banjar merupakan
negara maritim dimana pedagang-pedagang Banjar sudah melakukan hubungan niaga
dengan Filipina Selatan (Banjar Kulan), Brunei, Cochin Cina/Campa, sehingga
kawasan timur Kalimantan merupakan perlintasan jalur perdagangan orang Banjar
sejak berabad-abad yang lalu. Sejak itulah orang Banjar/Kesultanan Banjar
melebarkan teritorialnya keKalimantan Timur atau disebut juga negeri-negeri
di atas angin dalam Hikayat Banjar.
Suku Banjar membentuk 15 % dari
populasi penduduk Kaltim dan terdapat seluruh kabupaten dan kota di Kaltim. Suku
Banjar di Kaltim lebih banyak populasinya dibandingkan suku Dayak maupun suku Kutai. Di Kota Samarinda dan Balikpapan, suku Banjar merupakan
kelompok etnik asal Kalimantan terbanyak di kedua wilayah kota tersebut.[18]
Menurut data statistik Kalimantan Timur
2002, Suku Banjar terdapat di Kota Samarinda (140.761 jiwa), Kota Balikpapan
(63.010 jiwa), Kutai Kartanegara (57.506 jiwa), Paser (32.323 jiwa), Kutai
Timur (11.380 jiwa), Berau (9.659 jiwa), Tarakan (8.766 jiwa), Kutai Barat
(6.658 jiwa), Bontang (5.328 jiwa), Bulungan (3.315 jiwa), Nunukan (1.124 jiwa)
dan Malinau (490 jiwa).[19]
Migrasi suku Banjar (Batang
Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565, yaitu orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau (ayah Puteri Petung) dari Kerajaan Kuripan(versi lainnya dari Kerajaan Bagalong di Kelua, Tabalong) yang merupakan cikal
bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas di daerah Paser, selanjutnya suku Banjar
juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur. Organisasi Suku Banjar
di Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).
Kalimantan
Tengah
Kalimantan Tengah termasuk dalam wilayah
Kesultanan Banjar. Daerah-daerah di Kalimantan Tengah dan seterusnya hingga
negeri Sambas di Kalimantan Barat disebutnegeri-negeri di bawah angin dalam
Hikayat Banjar. Sudah berabad-abad orang Banjar melakukan migrasi dan
melebarkan teritorialnya ke kawasan pesisir Kalimantan Tengah, sehingga
menjadikan suku Banjar sebagai kelompok etnik kedua terbanyak setelah suku
Dayak (rumpun Dayak) di wilayah tersebut. Kalimantan
Tengah juga menjadi hunian orang Banjar terbanyak kedua setelah Kalimantan
Selatan.
Menurut sensus tahun 2000, Suku Banjar
merupakan 24,20 % dari populasi penduduk dan sebagai suku terbanyak di
Kalteng. Tahun 2000 (sebelum pemekran daerah), suku Banjar terdapat di
Kabupaten Kapuas (40,5%), Palangkaraya (27,64%), Kotawaringin Timur (20,3%),
Kotawaringin Barat (16,02%), Barito Selatan (10,5%) dan Barito Utara (2,56%).
Komposisi etnis di Kalteng berdasarkan
sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar (24,20%), Jawa (18,06%), Ngaju (18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura(3,46%), Katingan (3,34%) dan Maanyan (2,80%)[20]. Tetapi jika digabungkan
suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90%.
Besarnya proporsi Suku Banjar dan Jawa di
Kalimantan Tengah karena perantauan orang Banjar asal Kalimantan Selatan dan
transmigrasi asal Jawa yang cukup besar ke Kalimantan Tengah. Orang Banjar
secara langsung memanfaatkan berbagai peluang ekonomi yang masih terbuka luas
di Kalimantan Tengah. Berbeda dengan orang Jawa yang pindah ke Kalimantan
Tengah karena program transmigrasi, orang Banjar pindah atas kemauan sendiri.
Daerah pedalaman Kalimantan Selatan (daerah Pahuluan) adalah daerah padat
penduduk dan sejak lama merupakan sumber migrasi keluar orang Banjar tidak
hanya ke berbagai tempat di Pulau Kalimantan, tetapi juga ke Sumatera dan Jawa.[21]
Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama
terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan di Kabupaten Seruyan, misalnya desa Tanjung Rangas dan Pematang Panjang.
Migrasi suku Banjar (Banjar
Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi
pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja
Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672), yang telah mengizinkan
berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang
pertama Pangeran Dipati Anta-Kasuma.
Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang
Banyu) terutama orang Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota Negara (bekas
ibukota Kerajaan Negara Daha) telah cukup lama
mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul
orang Kelua (Urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu Sungailainnya mendiami daerah
yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar ini akhirnya
melakukan perkawinan campur dengan suku
Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.
Sedangkan migrasi suku Banjar ke
wilayah Barito, Kalimantan Tengah
terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di
wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (Gusti Inu
Kartapati) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
berkedudukan di Puruk
Cahu (Murung Raya), setelah mangkat dia
perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.
Jawa
Timur
Suku Banjar di Jawa Timur banyak bermukim
di Kota
Surabaya, Malang, Pasuruan dan Tulungagung.
Di Tulungagung, masyarakat Banjar merupakan
pendatang yang cukup mendominasi terutama dalam perdagangan emas. Etnis Banjar
di Tulungagung merupakan komunitas etnis pendatang yang cukup besar jumlahnya
dibanding etnis Tionghoa dan Arab
Jawa
Tengah
Masjid
Kampung Banjar Semarang
Kampung
Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara
Menurut Serat Maha Parwa, penduduk Jawa
berasal dari Hindustan dan Siam yang sebelumnya singgah di Nusa Kencana
(Kalimantan).[24]Di daratan kota Rembang telah ditemukan
bangkai perahu kuno terbuat dari kayu ulin diduga berasal dari Kalimantan
Selatan.[25]Berdasarkan Hikayat Banjar (1663) dapat diketahui
bahwa Sultan Demak telah mengirimkan
seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera (raja Banjarmasih)
untuk berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir.
Kemenangan akhirnya diraih oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin ke-1, sedangkan
Pangeran Tumenggung diijinkan menetap di daerah Alay dengan seribu
penduduk. Selama peperangan tersebut tertangkap pula 40 orang Negara Daha baik laki-laki
maupun perempuan, yang kemudian dibawa ke Demak dan Tadunan sebagai ganti 20
orang prajurit Demak yang gugur. Kejadian berlangsung sekitar tahun 1520-1526[26][27] Dewasa ini Suku
Banjar di Jawa
Tengah hanya
berkisar 10.000 jiwa. Suku Banjar terutama bermukim di Kota Semarang dan Kota Surakarta.[28] Dahulu, suku Banjar
kebanyakan bermukim di Kampung Banjar[29] dalam wilayah kelurahan Dadapsari. Kelurahan ini juga
dikenal sebagai Kampung Melayu.
Migrasi suku Banjar ke kota Semarang
kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di sebelah barat kali Semarang
berdekatan dengan eks kelurahan Mlayu Darat. Di wilayah ini suku Banjar membaur
dengan etnis lainnya seperti Arab-Indonesia, Gujarat, Melayu, Bugis dansuku Jawa setempat. Keunikan
suku Banjar di kampung ini, mereka mendirikan rumah panggung (rumah ba-anjung) yang sudah beradaptasi dengan
lingkungan setempat, tetapi sayang kebanyakan rumah tersebut sudah mulai
tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air pasang, rob)
yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut.[30]
Sedangkan di Surakarta, suku Banjar kebanyakan
bermukim di Kelurahan Jayengan. Suku Banjar di
Surakarta memiliki yayasan bernamaDarussalam, yang diambil dari nama
Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa
Tengah merupakan generasi ke-5 dari keturunan Martapura, Kabupaten Banjar. Tokoh suku Banjar di
Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah
menjabat Bupati Pemalang dan Kepala Dinas
Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua Ikatan Keluarga Kalimantanke-1,
saat ini dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan Barat. Di samping itu ada
pula Ikatan Keluarga Banjar di Semarang, yang diketuai H.
Karim Bey Widaserana dari Barabai. [31]
Sulawesi
Di Makassar, etnis Banjar umumnya sebagai
pedagang perhiasan, tukang jahit, tukang emas, pedagang batu permata dan
pembuat kopiah.[32] Diketahui, ada sebuah
perkampungan suku Banjar di Kota Manado yaitu
Kelurahan Banjer, yang mengisyaratkan
bahwa ada Suku Banjar yang bermukim di Sulawesi Utara. Selain itu, ada tokoh
Banjar yang lahir di Manado seperti Muhammad Thoha Ma'ruf.
Pada tahun 1884, salah seorang tokoh Perang Banjar bernama Pangeran
Perbatasari (cucu Pangeran Antasari dibuang ke Kampung
Jawa Tondano. Di sana, ia menikah dengan seorang wanita Jaton (Jawa Tondano). Beberapa tahun kemudian,
saudaranya Gusti Amir juga menyusul ke sana dan menikah dengan wanita Jaton.
Orang Jaton keturunan para pangeran asal Banjar ini menyandang fam Perbatasari
dan Sataruno.[33]
Sumatera
dan Malaysia
Suku Banjar di Malaysia, mayoritas
keturunan Banjar Pahuluan. Selain suku Banjar juga memasukan keturunan suku
Kutai, suku Berau dan suku Bakumpai (Dayak Ngaju muslim), yang biasa
dikategorikan dalam Rumpun Banjar. Negara Malaysia
dibentuk dari gabungan empat negara: Malaya, Sarawak, Sabah dan Singapura
(keluar tahun 1969). Berdasarkan sensus 1911 penduduk Malaya Britania (sekarang Malaysia
Barat) yang merupakan suku Banjar berjumlah 21.227 jiwa, dengan komposisi 81%
tinggal di Perak, 13.5% di Selangor dan 3.7% di Johor sedangkan di negara
bagian lain bilangannya kecil. Lebih 88% suku Banjar di Perak tinggal di
daerah Kerian, sementara kebanyakan
suku Banjar di Selangor tinggal di Kuala Langat (Tunku Shamsul
Bahrin 1964: 150). Pada tahun 1921 suku Banjar meningkat hampir 80% menjadi
37.484 jiwa. Peningkatan paling besar berlaku di Johor, dari 782 jiwa pada
tahun 1911 menjadi 8.365 jiwa pada tahun 1921. Kebanyakan suku Banjar di Johor
ditemui di Batu
Pahat (5.711
jiwa) dan di Kukub(1.166 jiwa). Di Perak
peningkatan jumlah suku Banjar terjadi di daerah Hilir Perak, sedangkan di Selangor
terjadi di daerah Kuala Selangor (Tunku Shamsul
Bahrin 1964: 151). Antara tahun 1921 hingga 1931 penduduk suku Banjar telah
bertambah 7.503 jiwa menjadi 45.351 jiwa. Pada saat itu Perak, Johor dan
Selangor masih merupakan tiga negeri dengan penduduk suku Banjar terbanyak
dimana tinggal 96% suku Banjar yang ada di Malaya. Tetapi dalam periode itu
terjadi sedikit perubahan dalam taburan suku Banjar di Malaya. Jika sebelum
itu, lebih 50% orang Banjar tinggal di Perak, pada tahun 1931, bilangan orang
Banjar di negeri itu telah berkurang. Sebaliknya, bilangan orang Banjar di
Johor dan Selangor telah bertambah, karena sebagian orang Banjar di Perak telah
berpindah ke Johor dan Selangor yang mengalami pembangunan ekonomi yang lebih
pesat.[34]
Suku Banjar sudah lama terdapat di
Sumatera.[35][36] Berdasarkan sensus
tahun 1930, suku Banjar di Sumatera berjumlah 77.838 jiwa yang terdistribusi di
Plantation belt (Pantai Timur Sumatera Utara) 31.108 jiwa, di Sumatera bagian
Tengah 46.063 jiwa dan di Sumatera bagian Selatan 430 jiwa.[37] Belakangan, suku Banjar di
Sumatera banyak yang berpindah ke Malaysia sebelum kemerdekaannya. Suku Banjar
yang tinggal di Sumatera (Tembilahan, Tungkal, Hamparan Perak (Paluh Kurau), Pantai Cermin, Perbaungan) dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari
para imigran etnis Banjar yang datang
dalam tiga gelombang migrasi besar.
Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi
besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah
para pendukung Pangeran Amir yang menderita
kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kesultanan Banjar,
yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus melarikan
diri dari wilayah Kesultanan Banjar karena sebagai
musuh politik, mereka sudah dijatuhi hukuman mati.
Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi
migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi
imigrannya kali adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar. Mereka harus melarikan
diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura karena posisi
mereka terdesak sedemikian rupa. PasukanResiden Belanda yang menjadi musuh mereka
dalam Perang
Banjar yang
sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar.
Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar
kembali melakukan migrasi besar-besaran ke
pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Semanyang menjadi raja
di Kerajaan
Banjar ketika
itu meninggal di tangan Belanda.
Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 di masa
pemerintahan Sultan Isa (raja Indragiri
sebelum raja yang terakhir). Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini
adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru
Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura dan menjabat
sebagai MuftiKerajaan Indragiri. Suku Banjar juga banyak
menyebar di Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung, seperti di pulau Singkep[38]
Sistem kekerabatan
Waring
|
↑
|
Sanggah
|
↑
|
Datu
|
↑
|
Kai
(kakek) + Nini (nenek)
|
↑
|
Abah
(ayah) + Uma (ibu)
|
↑
|
Kakak
< ULUN > Ading
|
↓
|
Anak
|
↓
|
Cucu
|
↓
|
Buyut
|
↓
|
Intah/Muning
|
Seperti sistem kekerabatan umumnya,
masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah tertentu sebagai panggilan dalam
keluarga. Skema di samping berpusat dari ULUN sebagai penyebutnya.
Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk
saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak, saudara
kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha,
saudara tengah dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa
disebut Pakacil (paman muda/kecil) dan Makacil (bibi
muda/kecil), sedangkan termuda disebut Busu. Untuk memanggil
saudara dari kai dan nini sama saja, begitu
pula untuk saudara datu.
Disamping istilah di atas masih ada pula
sebutan lainnya, yaitu:
· minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
· pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
· mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
· mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
· sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
· mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
· kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
· sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
· maruai (isteri sama isteri bersaudara)
· ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
· panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
· pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
· badangsanak (saudara kandung)
· minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
· pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
· mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
· mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
· sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
· mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
· kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
· sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
· maruai (isteri sama isteri bersaudara)
· ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
· panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
· pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
· badangsanak (saudara kandung)
Untuk memanggil orang yang seumur boleh
dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk
menunjuk diri sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih
tua digunakan kata pian, dan kata ulun untuk
menunjuk diri sendiri.
Islam Banjar
Istilah Islam Banjar menunjuk kepada sebuah
proses historis dari fenomena inkulturisasi Islam di Tanah Banjar, yang secara
berkesinambungan tetap hidup di dan bersama masyarakat Banjar itu sendiri (Tim
Haeda, 2009:3). Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar setara dengan
istilah-istilah berikut: Islam di Tanah Banjar, Islam menurut pemahaman dan
pengalaman masyarakat Banjar, Islam yang berperan dalam masyarakat dan budaya
Banjar, atau istilah-istilah lain yang sejenis, tentunya dengan
penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu dengan
lainnya.
Inti dari Islam Banjar adalah terdapatnya
karakteristik khas yang dimiliki agama Islam dalam proses sejarahnya di Tanah
Banjar. Menurut Alfani Daud (1997), ciri khas itu adalah terdapatnya kombinasi
pada level kepercayaan antara kepercayaan Islam, kepercayaan bubuhan, dan
kepercayaan lingkungan. Kombinasi itulah yang membentuk sistem kepercayaan
Islam Banjar. Menurut Tim Haeda (2009), di antara ketiga sub kepercayaan itu,
yang paling tua dan lebih asli dalam konteks Banjar adalah kepercayaan
lingkungan, karena unsur-unsurnya lebih merujuk pada pola-pola agama pribumi
pra-Hindu. Oleh karena itu, dibandingkan kepercayaan bubuhan, kepercayaan
lingkungan ini tampak lebih fleksibel dan terbuka bagi upaya-upaya modifikasi
ketika dihubungkan dengan kepercayaan Islam.
Sejarah Islam Banjar dimulai seiring dengan
sejarah pembentukan entitas Banjar itu sendiri. Menurut kebanyakan peneliti,
Islam telah berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin
Banjarmasin, meskipun dalam kondisi yang relatif lambat lantaran belum menjadi
kekuatan sosial-politik. Kerajaan Banjar, dengan demikian, menjadi tonggak
sejarah pertama perkembangangan Islam di wilayah Selatan pulau Kalimantan.
Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar lebih kurang tiga abad kemudian
merupakan babak baru dalam sejarah Islam Banjar yang pengaruhnya masih sangat
terasa sampai dewasa ini.
Bahasa
Bahasa Banjar merupakan bahasa ibu Suku
Banjar. Bahasa ini berkembang sejak zaman Kerajaan Negara Dipa dan Daha yang bercorak Hindu-Buddha hingga
datangnya agama Islam di Tanah Banjar. Banyak
kosakata-kosakata bahasa ini sangat mirip dengan Bahasa Dayak, Bahasa Melayu, maupun Bahasa Jawa.
Busana Pengantin Banjar.
Keterampilan
Mengolah Lahan Pasang Surut
Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipeBubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.
Tradisi
lisan
Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat
dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar
(yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang
di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal
dari bahasa
Arab,
yakni madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya pujian. Madihin merupakan
puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam
bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan
konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar
di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah
tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan,
sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya
menggunakan bahasa
Tionghoa.[41] Namun, setelah
dibawa ke Tanah
Banjar oleh
pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.[41]
Teater
Satu-satunya seni teater tradisional yang berkembang
di pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah seni
teater atau pementasan tradisional yang berasal dariKalimantan Selatan.
Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan
yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton
menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat
suasana jadi lebih hidup.[42]
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih
mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab
pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti
Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama,
Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).[42]
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap
Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah
dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin,
Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena
di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil
dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang
Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina)
yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang
berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan”
kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.[42]
Musik
Salah satu kesenian berupa musik
tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting. Musik ini disebut
Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan panting, sejenis
gambus yang memakai senar (panting) maka disebut musik panting. Pada awalnya
musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan
alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya
lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan
atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting
akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka
musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun,
gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik
panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik panting
yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan adalah panting, sehingga
musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama
sebagai musik panting adalah A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik panting
terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.[43]
Selain itu, ada sebuah kesenian musik
tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini berasal dari
daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura. Pada masa sekarang,
musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik ini
dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga
hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik
ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.[44]
Tarian
Seni Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu
seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang
dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama
"Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan
kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun
yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan
dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang
dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan.
Kuliner
Masakan tradisional Banjar diantaranya:
sate Banjar[45], soto Banjar, ketupat Kandangan,
kue bingka dan lain-lain.
Senjata
Tradisional
Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan
orang yang pernah memakainya, senjata tradisional suku banjar yang biasa
digunakan dalam kehidupan sehari-hari antara lain :
·
1. Serapang
Serapang adalah tombak bermata lima mata
dimana empat mata mekar seperti cakar elang dengan bait pengait di tiap
ujungnya. Satu mata lagi berada di tengah tanpa bait, yang disebut “besi lapar”
yang di percaya dapat merobohkan orang yang memiliki ilmu kebal sekuat apappun.
·
2. Tiruk
Tiruk adalah tombak panjang lurus tanpa
bait digunakan untuk berburu ikan haruan (ikan gabus) dan toman di sungai.
·
3. Pangambangan
Pangambangan adalah tombak lurus bermata
satu dengan bait di kedua sisinya.
·
4. Duha
Duha adalah pisau bermata dua yang sering
digunakan untuk berburu babi.
Populasi
Menurut sensus BPS tahun 2010 populasi suku
Banjar berjumlah 4.127.124 dan terdapat di seluruh provinsi Indonesia dengan
2.686.627 diantaranya tinggal di Kalimantan Selatan. Populasi suku Banjar dalam
jumlah besar juga dapat ditemkan di Kalimantan Tengah (464.260) dan Kalimantan
Timur (440.453) yang merupakan daerah perantauan primer orang Banjar. Di pulau
Sumatera orang Banjar banyak terdapat di Riau (227.239), Sumatera Utara
(125.707) dan Jambi (102.237) karena migrasi orang Banjar pada abad ke-19 ke
pesisir timur Sumatera.
Provinsi
|
Populasi Suku Banjar
|
Jumlah Penduduk
|
Konsentrasi
|
Distribusi
|
2.686.627
|
3.626.616
|
74,08%
|
65,10%
|
|
464.260
|
2.212.089
|
20,99%
|
11,25%
|
|
440.453
|
3.553.143
|
12,40%
|
10,67%
|
|
227.239
|
5.538.367
|
4,10%
|
5,51%
|
|
125.707
|
12.982.204
|
0,97%
|
3,05%
|
|
102.237
|
3.092.265
|
3,31%
|
2,48%
|
|
14.430
|
4.395.983
|
0,33%
|
0,35%
|
|
12.405
|
37.476.757
|
0,03%
|
0,30%
|
|
11.811
|
1.679.163
|
0,70%
|
0,29%
|
|
9.383
|
43.053.732
|
0,02%
|
0,23%
|
|
8.572
|
9.607.787
|
0,09%
|
0,21%
|
|
3.837
|
8.034.776
|
0,05%
|
0,09%
|
|
3.452
|
2.635.009
|
0,13%
|
0,08%
|
|
2.734
|
4.494.410
|
0,06%
|
0,07%
|
|
2.572
|
10.632.166
|
0,02%
|
0,06%
|
|
2.545
|
3.457.491
|
0,07%
|
0,06%
|
|
2.336
|
32.382.657
|
0,01%
|
0,06%
|
|
1.442
|
7.450.394
|
0,02%
|
0,03%
|
|
1.083
|
4.500.212
|
0,02%
|
0,03%
|
|
594
|
2.270.596
|
0,03%
|
0,01%
|
|
499
|
2.232.586
|
0,02%
|
0,01%
|
|
411
|
7.608.405
|
0,01%
|
0,01%
|
|
355
|
4.846.909
|
0,01%
|
0,01%
|
|
349
|
3.890.757
|
0,01%
|
0,01%
|
|
327
|
2.833.381
|
0,01%
|
0,01%
|
|
249
|
1.223.296
|
0,02%
|
0,01%
|
|
221
|
1.158.651
|
0,02%
|
0,01%
|
|
213
|
1.533.506
|
0,01%
|
0,01%
|
|
200
|
4.683.827
|
0,00%
|
0,00%
|
|
180
|
1.715.518
|
0,01%
|
0,00%
|
|
165
|
760.422
|
0,02%
|
0,00%
|
|
134
|
1.040.164
|
0,01%
|
0,00%
|
|
102
|
1.038.087
|
0,01%
|
0,00%
|
|
Total
|
4.127.124
|
237.641.326
|
1,74%
|
100,00%
|
Tokoh-tokoh Banjar
·
Hasan Basry, Pahlawan Nasional
Indonesia.
·
Idham Chalid, Wakil Perdana Menteri,
Ketua MPR RI, Pahlawan Nasional Indonesia.
·
Pangeran Muhammad Noor, mantan menteri PU/Gubernur Kalimantan ke-1
·
Prof. Gusti Muhammad Hatta, menteri Riset dan
Teknologi.
·
Abdul Hafiz Anshari, mantan Ketua Komisi
Pemilihan Umum
·
Drs. Saadillah Mursjid, MPA, mantan Menteri
Sekretaris Kabinet Pembangunan VII
·
Djohan Effendi, mantan Menteri
Sekretaris Kabinet era Gus Dur, penulis pidato Presiden Soeharto.
·
Syamsul Mu'arif, mantan Menteri Negara
Komunikasi dan Informasi Kabinet Gotong Royong
·
Taufiq Effendi, mantan menteri Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Kabinet Indonesia
Bersatu
·
Muhammad Zaini Abdul Ghani, ulama dan tokoh Islam Indonesia.
·
K.H. Muhammad Arifin Ilham, Ketua Majelis Zikra
·
Terry Putri, Artis dan pembawa acara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar